REPORTER PERTAMA PELIPUT KASUS BRIGADIR J DAN RENUNGAN BUAT JURNALIS

Aryo Tondang, Jurnalis Tribun Jambi ini mestinya dapat penghargaan atau setidaknya hadiah dari wartawan senior, mantan Dirut PLN, mantan Mentri BUMN, Dahlan Iskan. Dalam tulisanya, pendiri Grup Jawa Pos ini, sempat mencari siapa jurnalis yang pertama kali meliput kasus kematian Brigadir Josua atau Brigadir J. Moga pak Dahlan ingat dan merealisasikan janjinya,.

Pria gondrong gimbal ini berhasil mengikuti naluri jurnalisnya, saat sedang meliput kegiatan polisi, pada hari Sabtu 9 Juli 2022 pukul 11:00 WIB, Saat itu, ia bersama teman reporter Kompas TV sedang meliput pelatihan K9 (anjing pelacak) di Cargo Bandara Sultan Thaha Jambi.

Selengkapnya, bisa dibaca dilink berita Tribunews ini. TRIBUNEWS ARYO

Karena gerakan Aryo ini, Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo, panik di hari Minggu itu, 10 Juli 2022. Dia langsung menghubungi kawannya, yang juga penasehat ahli Kapolri, Fahmi Alamsyah. Sebab emang diketahui, peristiwa berdarah di Duren Tiga ini akan dikondisikan bebas dari pemberitaan. Tapi apa lacur, Aryo berhasil sedikit menguaknya.

Ferdy dan Fahmi kemudian bekerja sama untuk membuat rilis berita untuk disampaikan ke Divisi Humas Polri yang kemudian menjadi bahan konfrensi pers, Senin 11 Juli 2022. Begitulah kira-kira,  yang semua orang juga udah tahu pada akhirnya.

Gw sendiri menyayangkan, kenapa anak-anak reporter Jakarta lambat. Masa, iya, gak tahu sih, ada kejadian sebesar ini.  Apa gak ada gitu, jaman sekarang jurnalis di desk krimnal atau ibukota, yang tiap pagi saat memulai liputan rajin membuka laporan piket polisi. Entah di Polda atau Polres. Apalagi, kan, Nyonya Sambo, sehari setelah kejadian membuat LP ke Mapolres Jakarta Selatan. Data-data itu mestinya terbuka dan boleh dibuka dan dibaca jurnalis.

Atau, masa iya, gak ada lagi jurnalis yang mangkal di kamar jenasah RS Polri? Setahu gw, dan gw pernah juga menjalani, rumah sakit dan kamar jenasah adalah tempat awal peliputan/mencari peristwa paling asyik. Kita disana bisa tahu apa saja peristiwa kriminal. Biasanya dari sana kita bisa langsung mengembangkan berita.

Atau lagi, masa iya juga jurnalis sekarang gak punya relasi bagus dengan teman-teman polisi. Kan, pasti ada aja mereka, polisi, yang “ember’ bocorin atau ngasih kode ada peristiwa besar terjadi. Dulu sih, media gw sempat ngasih ongkos buat cepu cepunya polisi buat ngasih tahu atau me-87 peristiwa macam ini.

Apa wartawan sekarang ini kerjaanya hanya nunggu rilis esmi dari humas? Atau stalking akun-akun pejabat, tokoh, pengamat, nstansi atau keriuhan di media sosial buat memcari berita? Emang begitu sih yang gw tahu sekarang ini. Teknologi Informasi membuat mereka malas. Padahal, mestinya, cara-cara jurnalis konvensial turun ke lapangan untuk memverifikasi informasi, masih efektif buat mendalami sebuah peristiwa.

Kacau sih, menurut gw klo. Peristiwa terjadi tanggal 8, media baru bisa mengangkatnya tanggal 11, atau tiga hari kemudian. Itu pun setelah pihak kepolisian secara resmi yang mengumumkannya dengan segala kejanggalannya. Bahkan, setelah itu, beberapa media juga kerjanya masih menunggu berita resmi. Ada memang yang kemudian benar-benar bekerja investigasi. Tapi itu sedikit, bisa dihitung pake lidi.

Kasus berdarah Duren Tiga ini adalah peringatan buat semua jurnalis. Bagaimana kalian bisa membongkarr sebuah skandal besar, kalo cara kerjanya masih begini. Tau kasus watergate? Kasus kecil itu sebenarnya diawal-awal. Hanya kasus pencurian biasa yang dilaporkan polisi. Tapi, karena cara konvensional dan naluri jurnalis, akhirnya kasus itu terkuak besar. Bahkan ternyata melibatkan Presiden AS saat itu. Ampe lengser malah itu presden.

Jurnalis itu melayani yang diperintah, bukan yang memerintah. Mereka mestinya menulis apa yang tidak ditulis media lain. Tidak sama apalagi seragam. Seperti kawanan bebek yang mudah digiring kesana-sini. Bisanya Cuma bkin judul click dengan tanda yanya dan berita berlembar-lembar tanpa isi dan pesan yang jelas. 

Jurnalis itu bukan sekedar pekerjaan, tapi panggilan hati dan pengabdian. Kalo seperti in jurnalis dan media-media kita, wah, media bukan lagi kekuatan atau pilar nomor empat dalam demokrasi. Penguasa akan seenak dengkul dan jidatnya ngatur-ngatur bangsa ini. Sekarang ini malah banyak terbalik. Opini di medsos yang selalu memenuhi ruang di media, bukan lagi apa yang terjadi di media yang dibahas di medsos. Dunia Terbalik, seperti sebuah sinetron di RCTI garing yang gak ada juntrungannya.

Salut buat Aryo Tondang!! Gw suka gaya, lu! Moga lu menginspirasi jurnalis lain buat peka, sensitif, dan mau mengabdi buat mereka yang butuh suara. (Imam Nugroho/INRP)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

SURAT TERBUKA BUAT KAPOLRI

KETIKA PEJABAT TINGGI BERLOMBA SUNTIK VAKSIN BOOSTER

KISAH VERZET, TIM SEPAKBOLA PALING BERANI IBUKOTA